Senin, 11 November 2013

Tulungagung Tanah Leluhur Nusantara lanjutan

Prasasti Pucangan menggambarkan Erlangga sebagai pemeluk agama Wisnu yang tawakal dan teguh.  Bahwa selama tinggal di asrama, para pandita memberitakan jika Erlangga titisan Wisnu yang masih harus menyelesaikan tugasnya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya.

Dewa Wisnu tidak pernah gagal menunaikan tugas.  Erlangga percaya dan itu semakin menambah keteguhan hati merebut kembali kerajaannya yang telah diduduki musuh.

Maka Erlangga segera mengumpulkan kekuatan, merencanakan serangan balasan. 


Sampai kemudian di penghujung 1032M, hari pembalasan tiba.  Sri Maharaja Erlangga, Mpu Narottama, Mpu Niti, dan Mapanji Tumanggala memimpin pasukan gabungan berderap menuju selatan. 

Setelah mengepung gunung Cemenung, pusat kekuatan Lodoyong, Erlangga berhasil menekuk ratu Tulodong. Lodoyong jatuh. 
Tetapi Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan Medang, sebagai salah satu senapati kerajaan, bahkan mendapat gelar Rake Halu.

Dyah Tumabong. 
Adanya gelar Rake Halu, apakah itu berarti bahwa penguasa Lodoyong disunting salah seorang anggota keluarga istana? Menjadi permaisuri Mapanji Tumanggala, adik ipar Erlangga? Belum pasti benar.  Yang dapat dipastikan dari pembacaan prasasti Pucangan bait 28 adalah ketika pasukan Erlangga menggulung Wurawari, kekuatan Lodoyong termasuk dalam pasukan penggulung itu.  Demikian pula ketika Erlangga menghantam Wengker, Lodoyong turut serta.
Prasasti Pucangan menceritakan, setelah menundukkan Lodoyong dibrang kidul, balatentara Medang tidak langsung berderap ke Wengker, melainkan menyerbu Lwaram.
Pasukan gabungan Medang dan Lodoyong merajalela di Lwaram. 
Raja Wurawari tamat riwayatnya. 
Kemudian Erlangga meninggalkan Patakan dan membangun ibukota baru di Kahuripan.  Setelah Desa Terep ditetapkan sebagai daerah SIMA, balatentara Medang berderap menggempur Wengker. 

Prasasti Pucangan Bait 26, 27, 28 menulis penaklukan Erlangga atas Lodoyong pada 1032M yang dilanjutkan menyerbu Wengker pada 1035M. 
Maka terdapatlah di dalam negeri seorang perempuan yang memiliki tenaga perkasa, serupa seorang raksasi. 
Dengan tak gentar apa-apa, pergilah beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu. 
Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 954, pada waktu itulah raja mendapat kenamaan lantaran menaklukan dan membakar Jawa bagian selatan, bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan, maka dinyatakanlah dengan tegas daerah selatan yang paling mengerikan itu sebagai daerah taklukan. 
Setelah mendapat banyak harta rampasan yang kemudian dihadiahkan kepada para hambanya, maka kemasyuran yang diraih sang raja, setara para brahmana dan petapa. Terdorong keinginan mencari nama, maka pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat, dalam tahun 957 Saka tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, pada hari baik-baik, hari Rabu, membawa balatentara yang tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang [pasukan Lodoyong]. 

Dengan tepuk Ngemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya raja Wengker Wijayawarman.
Setelah menaklukkan Lodoyong, Wura-Wari, juga Wengker, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi seorang maharaja Medang. 
Jawatimur dan Jawatengah berada dalam kekuasaannya.
Meski berhasil merebutnya kembali istana Watanmas, Erlangga tidak menempatinya lagi, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan.
Beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan, Erlangga meninggalkan Kahuripan menuju Daha. 
Dan setahun kemudian, Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan
Mapanji Garasakan. 
Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.
Pembelahan kerajaan Erlangga yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada selain tercantum dalam Prasasti Mahaksobhya yang dikeluarkan Sri Kertanagara, juga termuat dalam kakawin Negarakertagama
pupuh 68, yang ditulis Prapanca pada tahun 1365M. Sebelumnya atau dalam pupuh 67 kakawin Negarakertagamakarya Dang Acarya Samantabhadra alias Prapanca menulis pesta srada yang diselenggarakan keraton Majapahit
serba meriah dan hikmat penuh penghormatan kepada mendiang Sang Rajapatni Dyah Gayatri.
Perayaan yang membikin girang jiwa sri Rajapadni yang sudah mangkat. 
Semoga arwah Sang Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata Rajasanagara supaya tetap jaya menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan surya. 
Lodang lega rasa Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan berlangsung lancar tiada halangan. 
Tinggal menunggu karya yang belum rampung yaitu menyempurnakan candi makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak.
Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya tulis Prapanca dalam pupuh 68 Negarakertagama
Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. 
Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan.
Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. 

Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. 
Dari barat ke timur sampai lautan.
Lalu dari utara ke selatan. 
Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. 
Di daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon Kamal, berniat menaruh kendi suci di
Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. 
Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh
menjulang tinggi. 
Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau kerdil. 

Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. 
Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. 
Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah kembali bersatu-padu.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi Sang Rajapatni Dyah Gayatri. 
Candi makam di Bayalangu ini kesohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pendeta.
Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga Jawa baik tulisan maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut. 

Peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti dongengan tidak masuk akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib, bertujuan meluhurkan para tokoh yang diceritakan. 
Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. 

Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Janggala. Karena itu Mpu Barada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah- daerah mana yang masuk wilayah Janggala, menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin merdeka. 

Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar dilambangkan sebagai daerah palungan atau cekungan. 
Di sini maksud daerah palungan sesungguhnya daerah yang memiliki derajat lebih rendah ketimbang Panjalu dan Janggala.
Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa berdiri tinggi menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon- pohon lain di tanah lebih tinggi. 
Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Tetapi Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan brang kidul. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka, dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung
batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Janggala.  Kutukan Mpu Barada Mkepada pohon kamal supaya berubah kecil atau pandak mengandung makna supaya ketinggian dan kekokohan brang kidul mengecil lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah Jawa hanya Panjalu dan Janggala, kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada berjalan kurang sempurna. 

Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya, maupun Janggala yang dirajai Mapanji Garasakan. 

--- Daerah merdeka itu adalah Lodoyong atau sekarang menjadi Tulungagung.--- 

Setelah Panjalu dan Janggala terbentuk, pada 24 Nopember 1042M, Erlangga meninggalkan keraton Daha, menjadi pandita dan berganti nama Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Sumber : 
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=
10200640951858317&set=a.3041077838039
.2111779.1595858908&type=3&theater&refid=17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar