Minggu, 10 November 2013

Tulungagung Tanah Leluhur Nusantara


Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari istana akibat serbuan Senapati Agung Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe, ia bertekad
membalas kekalahan ayahnya.
________________
Ada apa sejatinya dengan tanah ini? Mengapa pada masalalu banyak tokoh besar mengakhiri hidupnya menyingkir ke Banarawa?
Mengapa Gayatri, Jaka Tingkir, Pangeran
Benawa, disemayamkan di brang kidul? 
Saya meyakini Tulungagung ada apa-
apanya, pernah selama beberapa kurun,
berperan besar dalam perjalanan sejarah
nusantara masa silam. Keyakinan saya
bertambah tebal ketika menemukan fakta bahwa Tulungagung termasuk satu-satunya wilayah di luar pusat keraton, yang memiliki daerah perdikan terbanyak. Itu karena Tulungagung banyak memberikan pertolongan agung pada
para raja. Selain Rajapatni Gayatri, Tulungagung juga menjadi tempat pendarmaan beberapa tokoh Singasari dan Majapahit lainnya, seperti Tunggul Ametung, Mahisa Wonga Teleng, Mapanji Tohjaya, Raden Wijaya, Baginda
Kertawardhana, dan Sri Wikramawardhana.
Tapi selama ini, sangat sedikit sumber referensi sejarah, sangat sedikit buku kajian sejarah, utamanya terkait Tulungagung, yang cukup secara memuaskan, menjawab segala keheranan kita. Sementara sejauh ini, peristiwa-peristiwa sejarah di Tulungagung menginspirasi perkembangan kesenian rakyat Mataraman, seperti ketoprak, reog Kendang, dan tariJaranan. Sementara sesungguhnya Tulungagung berbakat menjadi pusat budaya, utamanya di
Jawatimur. Bukankah penemuan fosil
Wajakensis menandakan bahwa Tulungagung pernah menjadi pancer kebudayaan kuna Nusantara?
Pada kesempatan ini, kita akan mencoba kuak sejarah Tulungagung, sebatas sejauh yang tercantum dalam sumber tertulis atau prasasti.
Pada masa lalu, yang dinamakan wilayah
brangkidul —sekarang Tulungagung— adalah daerah di selatan sungai Brantas, mulai alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan Turen atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan
Trenggalek, termasuk Kampak dan Karangan sampai tahun 1950M, Karangan dan Kampak masuk Tulungagung. Karena itu, ketika kaji
sejarah Tulungagung, bakal bersinggungan dengan sejarah Blitar dan Trenggalek. Sejarah Tulungagung, terutama juga bersinggungan dengan sejarah Kediri. Bagaimanapun, Tulungagung memiliki ikatan lahir batin yang sangat erat dengan tiga tetangganya itu. Tulungagung pada masa Medang I Bhumi Mataram DYAH BALITUNG adalah raja Medang Mataram yang pertama kali meluaskan kekuasaannya ke Jawatimur bahkan Bali. Ketika itu di Jawatimur berdiri kerajaan Kanjuruhan, berpusat di timur gunung Kawi atau daerah Malang. Untuk meluaskan kekuasaannya, sudah barang tentu Dyah Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan lebih dulu. Dan itu yang kemudian dilakukannya. Tetapi pada penyerbuan pertama, pasukan Dyah Balitung mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur jauh ke barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis, persisnya di daerah Penampihan. Sampai kemudian atas bantuan besar atau pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan atau daerah Kubu-Kubu, Dyah Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan.
Beberapa waktu kemudian, Dyah Balitung mengeluarkan prasasti kerajaan berisi anugerah sima perdikan kepada daerah Kubu-Kubu.
Prasasti ini kelak dinamakan prasasti
Penampihan pertama. Inilah saat dimana
Tulungagung mulai berperan besar dalam sejarah kerajaan di tanah Jawa. Peran Tulungagung berlanjut setelah Medang Mataram runtuh dan pindah ke Jawatimur.
Tulungagung pada masa Medang Jawatimur TATKALA Raja Wawa bertahta di Medang Mataram, berderap kekuatan wangsa Saelendra dari Swarnadwipa menghantam Medang Mataram. Kekuatan Boddha berhasil
menaklukkan kemaharajaan Siwa di Medang bhumi Mataram. Itulah akhir riwayat kekuasaan kerajaan Siwa di bhumi Mataram. Kerajaan ini hancur bukan lantaran bencana letusan gunung
Merapi sebagaimana teori Van Bommel yang juga dianut banyak sejarawan.
Mahamentri Hino Mpu Sindok berhasil lolos dari gulungan wangsa Saelendra. Putra mahkota Raja Wawa itu kemudian mendirikan kerajaan di Jawatimur yang berhaluan Boddha, bukan Siwa, membangun keraton baru di Tamwlang, lalu pindah ke Watugaluh, Jawatimur Tamwlang sekarang bernama Tembelang, sementara Watugaluh menjadi Megaluh, keduanya di Jombang. Mpu Sindok menyebut kerajaannya
sebagai penerus Medang bhumi Mataram yang berkeraton di Watugaluh. Kitab prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i bhumi Mataram ing watu galuhâ. Meski memproklamasikan sebagai penerus Medang Mataram, Mpu Sindok memutus hubungan darah dengan wangsa Sanjaya, membangun
wangsa baru bernama Isanawangsa.
Mendengar Medang Mataram berlanjut di
Jawatimur, Sriwijaya tidak tinggal diam. 

Meski Mpu Sindok penganut Boddha, bukan halangan bagi wangsa Selendra menderapkan pasukannya dari Mataram menuju Jawatimur. Maka pada 929M, dua kekuatan besar bertemu di Anjukladang. Tetapi pasukan Mpu Sindok berhasil memukul mundur pasukan keturunan Balaputradewa itu.
Kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak. Mpu Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada daerah
Kampak,ini hampir bersamaan dengan
dikeluarkannya Prasasti Anjukladang yang kelak menjadi landasan hari jadi kabupaten Nganjuk.

Sebelum menjadi bagian Trenggalek, daerah Kampak masuk Tulungagung. Dapat dikatakan pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sendok, Tulungagung kembali tampil dalam pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Pada masa Sri Dharmawangsa, kekuatan wangsa Isana giat menggempur Jawatengah sampai akhirnya wangsa Selendra kembali ke tanah moyangnya di Sumatera. Sayang, kerajaan Medang adalah kerajaan agraris, bukan maritim
seperti Sriwijaya yang pada waktu itu diakui dunia sebagai kerajaan maritim tertangguh di asia tenggara. Dengan bantuan sekutunya, Aji Wura-Wari dari Lwaram, Sriwijaya berhasil menghancurkan Dharmawangsa.
Prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga pada 1041M menulis: 
rikalaninpralaya ring yawadwipa i rikang sakalala 928 ri prahara haji Wurawari maso mijil sangke Lwaram, ekarnawa rupanikang sayawadwipa rikangkala. Tatkala terjadi pralaya di pulau Jawa
pada 928 saka, akibat prahara Raja Wurawari yang muncul dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu seperti hamparan lautan.
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan
permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri, tepatnya di desa Cane.
Beberapa bulan kemudian Erlangga dan
Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada pandita wibawa penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita Wibawa sebagai istri selir.
Ketika Medang i Bhumi Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga
daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin.
Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke Terep, menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang, Erlangga menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung
Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.

Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan
Colamandala dari India, Erlangga leluasa
melebarkan sayap kekuasaannya. Mpu
Narottama menyarankan supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara ngedab-edabi.
Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan, dan Hasin.
Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di barat daya gunung Wilis menerbitkan prasasti baru.
Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada Desa Baru
yang telah membantu Erlangga ketika
menggempur Hasin. Sekarang Desa Baru bernama Baruharjo, di kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan kabupaten Tulungagung.
 
Sekarang prasasti Baru yang berbentuk
lempengan tembaga berada di Surabaya.
Sebelum menjadi bagian wilayah kabupaten Trenggalek, atau sebelum tahun 1050M, Desa Baru dan kecamatan Durenan masuk wilayah Tulungagung. Dapat dikatakan bahwa pada masa itu, tidak semua daerah di brang kidul melawan Erlangga, salah satunya daerah Baru. Dengan tercantumnya nama Baru pada prasasti, dapat pula dikatakan bahwa Tulungagung kembali menorehkan sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja. Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, Ratu Tulodong tidak tinggal diam, menderapkan pasukan perempuannya. Setelah menyeberang Brantas, pasukan besar Ratu Dyah Tulodong berderap ke utara membelah lembah tumur gunung Kawi, menuju lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menuju istana Erlangga di Watanmas. Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara, hingga kemudian bertahan di sebuah tempat bernama Patakan.

Peristiwa sejarah ini seolah tenggelam oleh kebesaran nama Erlangga. Kejayaan tokoh perempuan perkasa dari brang kidul pada sekitar tahun 1031M, tenggelam oleh keperkasaan kaum lelaki. Sementara sesungguhnya peristiwa itu termuat dalam Prasasti Terep:  maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan.
Meski dalam Prasasti Terep tidak menyebut nama perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga, dari penafsiran prasasti Terep dan Pucangan menyimpulkan bahwa sang
penakluk itu adalah Ratu Dyah Tulodong,
penguasa kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis bahwa ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Banyak ahli sejarah terkecoh dengan berita itu. Ungkapan
itu adalah simbolisasi bahwa perempuan
penakluk dari daerah selatan itu memiliki
kekuatan luar biasa serupa raksasa atau
melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang
bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau istri Dewa Siwa.

Di selatan sungai Brantas atau di sekitar
Sumberjati, banyak ditemukan arca Dewi Durga dan arca Ganeca serta arca berwujud katak.
Arca-arca itu banyak dimiliki oleh para pemuja Dewi Durga. Kelak Ratu Tulodong menjadi sosok yang menyebabkan tidak sempurnanya tugas
Mpu Bharada ketika membelah kerajaan
Erlangga.

Tetapi Erlangga adalah titisan Wisnu yang tidak pernah berhenti berjuang menciptakan ketentraman tanah Jawa. Prasasti Pucangan menggambarkan Erlangga sebagai pemeluk agama Wisnu yang tawakal dan teguh. Bahwa selama tinggal di asrama, para pandita memberitakan jika Erlangga titisan Wisnu yang masih harus menyelesaikan tugasnya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya. Dewa Wisnu tidak pernah gagal menunaikan tugas. Erlangga percaya dan itu semakin
menambah keteguhan hati merebut kembali kerajaannya yang telah diduduki musuh. Maka Erlangga segera mengumpulkan kekuatan 
Berlanjut 



Sumber : 

https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10200934036534874&id=1284563882&set=a.1736852142835.2088436.1284563882&source=48&__user=100000077532358

1 komentar:

  1. kecintaaan terhadap tanah air ini yang haris diwariskan ke anak cucu, sehingga penerus bangsa ini tidak mudah kepincut dengan wilayah lain.
    =========================
    cara ternak kelinci pedaging untuk pemula

    BalasHapus