Jumat, 15 November 2013

CANDI GAYATRI - TULUNGAGUNG


Candi Gayatri atau Candi Boyolangu berada di tengah pemukiman penduduk di wilayah Dusun Boyolangu, 

Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Untuk memasuki percandian ini, harus melalui sebuah lorong selebar 2,5 m yang dibatasi tembok setinggi 75 cm dengan panjang sekitar 50 m.
Candi berbahan bata ini berdenah segi empat dengan tangga masuk di bagian barat. Candi yang tersisa batunya saja itu berukuran 11,40 m x 11,40 m, dan ukuran penampil/ tangga masuknya adalah 2,68 m x 2,08 m. 
Secara horisontal, sisa bangunan itu terdiri atas sebuah candi induk dan dua candi perwara yang masing-masing berada di kiri-kanannya (utara dan selatan). Candi ini diketemukan kembali pada tahun 1914 dalam timbunan tanah.
Candi tampak berpusat pada tokoh utama berupa arca wanita berukuran besar yang diletakkan pada candi induk. Arca terebut berukuran tinggi 120 cm dengan lebar 168 cm dan tebal 140 cm. Saat ini arca tersebut ditempatkan di bawah naungan sebuah cungkup tanpa dinding. Tokoh wanita tersebut adalah Gayatri atau seorang pendeta wanita Budha masa kerajaan Majapahit yang bergelar Rajapadmi. Tokoh tersebut adalah isteri ke empat Raja Wijaya pendiri kerajaan Majapahit.
Berdasarkan pada angka tahun yang terdapat pada bangunan induk dan Kitab Nagarakertagama bahwa candi Boyolangu dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1359 - 1389 M ) dengan nama Prajnyaparamitapuri.

Candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat penyimpanan abu Jenasah Gayatri dan sekaligus tempat pemujaan agama Budha. —

Senin, 11 November 2013

Tulungagung Tanah Leluhur Nusantara lanjutan

Prasasti Pucangan menggambarkan Erlangga sebagai pemeluk agama Wisnu yang tawakal dan teguh.  Bahwa selama tinggal di asrama, para pandita memberitakan jika Erlangga titisan Wisnu yang masih harus menyelesaikan tugasnya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya.

Dewa Wisnu tidak pernah gagal menunaikan tugas.  Erlangga percaya dan itu semakin menambah keteguhan hati merebut kembali kerajaannya yang telah diduduki musuh.

Maka Erlangga segera mengumpulkan kekuatan, merencanakan serangan balasan. 


Sampai kemudian di penghujung 1032M, hari pembalasan tiba.  Sri Maharaja Erlangga, Mpu Narottama, Mpu Niti, dan Mapanji Tumanggala memimpin pasukan gabungan berderap menuju selatan. 

Setelah mengepung gunung Cemenung, pusat kekuatan Lodoyong, Erlangga berhasil menekuk ratu Tulodong. Lodoyong jatuh. 
Tetapi Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong sebagai bawahan Medang, sebagai salah satu senapati kerajaan, bahkan mendapat gelar Rake Halu.

Dyah Tumabong. 
Adanya gelar Rake Halu, apakah itu berarti bahwa penguasa Lodoyong disunting salah seorang anggota keluarga istana? Menjadi permaisuri Mapanji Tumanggala, adik ipar Erlangga? Belum pasti benar.  Yang dapat dipastikan dari pembacaan prasasti Pucangan bait 28 adalah ketika pasukan Erlangga menggulung Wurawari, kekuatan Lodoyong termasuk dalam pasukan penggulung itu.  Demikian pula ketika Erlangga menghantam Wengker, Lodoyong turut serta.
Prasasti Pucangan menceritakan, setelah menundukkan Lodoyong dibrang kidul, balatentara Medang tidak langsung berderap ke Wengker, melainkan menyerbu Lwaram.
Pasukan gabungan Medang dan Lodoyong merajalela di Lwaram. 
Raja Wurawari tamat riwayatnya. 
Kemudian Erlangga meninggalkan Patakan dan membangun ibukota baru di Kahuripan.  Setelah Desa Terep ditetapkan sebagai daerah SIMA, balatentara Medang berderap menggempur Wengker. 

Prasasti Pucangan Bait 26, 27, 28 menulis penaklukan Erlangga atas Lodoyong pada 1032M yang dilanjutkan menyerbu Wengker pada 1035M. 
Maka terdapatlah di dalam negeri seorang perempuan yang memiliki tenaga perkasa, serupa seorang raksasi. 
Dengan tak gentar apa-apa, pergilah beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu. 
Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 954, pada waktu itulah raja mendapat kenamaan lantaran menaklukan dan membakar Jawa bagian selatan, bagai seekor naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan, maka dinyatakanlah dengan tegas daerah selatan yang paling mengerikan itu sebagai daerah taklukan. 
Setelah mendapat banyak harta rampasan yang kemudian dihadiahkan kepada para hambanya, maka kemasyuran yang diraih sang raja, setara para brahmana dan petapa. Terdorong keinginan mencari nama, maka pergilah beliau sesudah itu menuju ke Barat, dalam tahun 957 Saka tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada, pada hari baik-baik, hari Rabu, membawa balatentara yang tak terhitung banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang [pasukan Lodoyong]. 

Dengan tepuk Ngemuruh dunia, beliau berhasil memetik kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya raja Wengker Wijayawarman.
Setelah menaklukkan Lodoyong, Wura-Wari, juga Wengker, Erlangga dapat dikatakan berhasil menjadi seorang maharaja Medang. 
Jawatimur dan Jawatengah berada dalam kekuasaannya.
Meski berhasil merebutnya kembali istana Watanmas, Erlangga tidak menempatinya lagi, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan.
Beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan, Erlangga meninggalkan Kahuripan menuju Daha. 
Dan setahun kemudian, Erlangga menghadapi persoalan besar, perebutan takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan
Mapanji Garasakan. 
Sampai kemudian untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi kedua puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.
Pembelahan kerajaan Erlangga yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi Mpu Bharada selain tercantum dalam Prasasti Mahaksobhya yang dikeluarkan Sri Kertanagara, juga termuat dalam kakawin Negarakertagama
pupuh 68, yang ditulis Prapanca pada tahun 1365M. Sebelumnya atau dalam pupuh 67 kakawin Negarakertagamakarya Dang Acarya Samantabhadra alias Prapanca menulis pesta srada yang diselenggarakan keraton Majapahit
serba meriah dan hikmat penuh penghormatan kepada mendiang Sang Rajapatni Dyah Gayatri.
Perayaan yang membikin girang jiwa sri Rajapadni yang sudah mangkat. 
Semoga arwah Sang Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata Rajasanagara supaya tetap jaya menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan surya. 
Lodang lega rasa Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan berlangsung lancar tiada halangan. 
Tinggal menunggu karya yang belum rampung yaitu menyempurnakan candi makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak.
Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya tulis Prapanca dalam pupuh 68 Negarakertagama
Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua putranya. 
Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki, tenang menapak permukaan lautan.
Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah Negara. 

Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari angkasa. 
Dari barat ke timur sampai lautan.
Lalu dari utara ke selatan. 
Daerah selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. 
Di daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon Kamal, berniat menaruh kendi suci di
Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan garis batas kerajaan. 
Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh
menjulang tinggi. 
Mpu Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau kerdil. 

Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. 
Tujuannya supaya menyatukan tanah Jawa kembali. 
Dengan demikian semoga baginda prabu serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah kembali bersatu-padu.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi Sang Rajapatni Dyah Gayatri. 
Candi makam di Bayalangu ini kesohor sebagai tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para pendeta.
Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga Jawa baik tulisan maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut. 

Peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti dongengan tidak masuk akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib, bertujuan meluhurkan para tokoh yang diceritakan. 
Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon asem alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. 

Ada sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada kekuasaan Panjalu maupun Janggala. Karena itu Mpu Barada yang hampir selesai menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan daerah- daerah mana yang masuk wilayah Janggala, menjadi murka pada penolakan penguasa daerah brang kidul yang ingin merdeka. 

Padahal daerah itu digolongkan sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar dilambangkan sebagai daerah palungan atau cekungan. 
Di sini maksud daerah palungan sesungguhnya daerah yang memiliki derajat lebih rendah ketimbang Panjalu dan Janggala.
Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa berdiri tinggi menjulangnya pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon- pohon lain di tanah lebih tinggi. 
Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Tetapi Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan brang kidul. Meski demikian perselisihan dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak, bahwa sejak saat itu brang kidul menjadi daerah merdeka, dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat tugu gaib ujung
batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan Janggala.  Kutukan Mpu Barada Mkepada pohon kamal supaya berubah kecil atau pandak mengandung makna supaya ketinggian dan kekokohan brang kidul mengecil lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah Jawa hanya Panjalu dan Janggala, kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada berjalan kurang sempurna. 

Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang berdiri sendiri, tidak termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya, maupun Janggala yang dirajai Mapanji Garasakan. 

--- Daerah merdeka itu adalah Lodoyong atau sekarang menjadi Tulungagung.--- 

Setelah Panjalu dan Janggala terbentuk, pada 24 Nopember 1042M, Erlangga meninggalkan keraton Daha, menjadi pandita dan berganti nama Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Sumber : 
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=
10200640951858317&set=a.3041077838039
.2111779.1595858908&type=3&theater&refid=17

Minggu, 10 November 2013

Tulungagung Tanah Leluhur Nusantara


Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari istana akibat serbuan Senapati Agung Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe, ia bertekad
membalas kekalahan ayahnya.
________________
Ada apa sejatinya dengan tanah ini? Mengapa pada masalalu banyak tokoh besar mengakhiri hidupnya menyingkir ke Banarawa?
Mengapa Gayatri, Jaka Tingkir, Pangeran
Benawa, disemayamkan di brang kidul? 
Saya meyakini Tulungagung ada apa-
apanya, pernah selama beberapa kurun,
berperan besar dalam perjalanan sejarah
nusantara masa silam. Keyakinan saya
bertambah tebal ketika menemukan fakta bahwa Tulungagung termasuk satu-satunya wilayah di luar pusat keraton, yang memiliki daerah perdikan terbanyak. Itu karena Tulungagung banyak memberikan pertolongan agung pada
para raja. Selain Rajapatni Gayatri, Tulungagung juga menjadi tempat pendarmaan beberapa tokoh Singasari dan Majapahit lainnya, seperti Tunggul Ametung, Mahisa Wonga Teleng, Mapanji Tohjaya, Raden Wijaya, Baginda
Kertawardhana, dan Sri Wikramawardhana.
Tapi selama ini, sangat sedikit sumber referensi sejarah, sangat sedikit buku kajian sejarah, utamanya terkait Tulungagung, yang cukup secara memuaskan, menjawab segala keheranan kita. Sementara sejauh ini, peristiwa-peristiwa sejarah di Tulungagung menginspirasi perkembangan kesenian rakyat Mataraman, seperti ketoprak, reog Kendang, dan tariJaranan. Sementara sesungguhnya Tulungagung berbakat menjadi pusat budaya, utamanya di
Jawatimur. Bukankah penemuan fosil
Wajakensis menandakan bahwa Tulungagung pernah menjadi pancer kebudayaan kuna Nusantara?
Pada kesempatan ini, kita akan mencoba kuak sejarah Tulungagung, sebatas sejauh yang tercantum dalam sumber tertulis atau prasasti.
Pada masa lalu, yang dinamakan wilayah
brangkidul —sekarang Tulungagung— adalah daerah di selatan sungai Brantas, mulai alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan Turen atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan
Trenggalek, termasuk Kampak dan Karangan sampai tahun 1950M, Karangan dan Kampak masuk Tulungagung. Karena itu, ketika kaji
sejarah Tulungagung, bakal bersinggungan dengan sejarah Blitar dan Trenggalek. Sejarah Tulungagung, terutama juga bersinggungan dengan sejarah Kediri. Bagaimanapun, Tulungagung memiliki ikatan lahir batin yang sangat erat dengan tiga tetangganya itu. Tulungagung pada masa Medang I Bhumi Mataram DYAH BALITUNG adalah raja Medang Mataram yang pertama kali meluaskan kekuasaannya ke Jawatimur bahkan Bali. Ketika itu di Jawatimur berdiri kerajaan Kanjuruhan, berpusat di timur gunung Kawi atau daerah Malang. Untuk meluaskan kekuasaannya, sudah barang tentu Dyah Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan lebih dulu. Dan itu yang kemudian dilakukannya. Tetapi pada penyerbuan pertama, pasukan Dyah Balitung mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur jauh ke barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis, persisnya di daerah Penampihan. Sampai kemudian atas bantuan besar atau pertolongan agung para tokoh dan penduduk Penampihan atau daerah Kubu-Kubu, Dyah Balitung berhasil menaklukkan Kanjuruhan.
Beberapa waktu kemudian, Dyah Balitung mengeluarkan prasasti kerajaan berisi anugerah sima perdikan kepada daerah Kubu-Kubu.
Prasasti ini kelak dinamakan prasasti
Penampihan pertama. Inilah saat dimana
Tulungagung mulai berperan besar dalam sejarah kerajaan di tanah Jawa. Peran Tulungagung berlanjut setelah Medang Mataram runtuh dan pindah ke Jawatimur.
Tulungagung pada masa Medang Jawatimur TATKALA Raja Wawa bertahta di Medang Mataram, berderap kekuatan wangsa Saelendra dari Swarnadwipa menghantam Medang Mataram. Kekuatan Boddha berhasil
menaklukkan kemaharajaan Siwa di Medang bhumi Mataram. Itulah akhir riwayat kekuasaan kerajaan Siwa di bhumi Mataram. Kerajaan ini hancur bukan lantaran bencana letusan gunung
Merapi sebagaimana teori Van Bommel yang juga dianut banyak sejarawan.
Mahamentri Hino Mpu Sindok berhasil lolos dari gulungan wangsa Saelendra. Putra mahkota Raja Wawa itu kemudian mendirikan kerajaan di Jawatimur yang berhaluan Boddha, bukan Siwa, membangun keraton baru di Tamwlang, lalu pindah ke Watugaluh, Jawatimur Tamwlang sekarang bernama Tembelang, sementara Watugaluh menjadi Megaluh, keduanya di Jombang. Mpu Sindok menyebut kerajaannya
sebagai penerus Medang bhumi Mataram yang berkeraton di Watugaluh. Kitab prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i bhumi Mataram ing watu galuhâ. Meski memproklamasikan sebagai penerus Medang Mataram, Mpu Sindok memutus hubungan darah dengan wangsa Sanjaya, membangun
wangsa baru bernama Isanawangsa.
Mendengar Medang Mataram berlanjut di
Jawatimur, Sriwijaya tidak tinggal diam. 

Meski Mpu Sindok penganut Boddha, bukan halangan bagi wangsa Selendra menderapkan pasukannya dari Mataram menuju Jawatimur. Maka pada 929M, dua kekuatan besar bertemu di Anjukladang. Tetapi pasukan Mpu Sindok berhasil memukul mundur pasukan keturunan Balaputradewa itu.
Kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak. Mpu Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan kepada daerah
Kampak,ini hampir bersamaan dengan
dikeluarkannya Prasasti Anjukladang yang kelak menjadi landasan hari jadi kabupaten Nganjuk.

Sebelum menjadi bagian Trenggalek, daerah Kampak masuk Tulungagung. Dapat dikatakan pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sendok, Tulungagung kembali tampil dalam pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Pada masa Sri Dharmawangsa, kekuatan wangsa Isana giat menggempur Jawatengah sampai akhirnya wangsa Selendra kembali ke tanah moyangnya di Sumatera. Sayang, kerajaan Medang adalah kerajaan agraris, bukan maritim
seperti Sriwijaya yang pada waktu itu diakui dunia sebagai kerajaan maritim tertangguh di asia tenggara. Dengan bantuan sekutunya, Aji Wura-Wari dari Lwaram, Sriwijaya berhasil menghancurkan Dharmawangsa.
Prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga pada 1041M menulis: 
rikalaninpralaya ring yawadwipa i rikang sakalala 928 ri prahara haji Wurawari maso mijil sangke Lwaram, ekarnawa rupanikang sayawadwipa rikangkala. Tatkala terjadi pralaya di pulau Jawa
pada 928 saka, akibat prahara Raja Wurawari yang muncul dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu seperti hamparan lautan.
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga dengan Dewi Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan
permaisuri gugur. Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya berhasil mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri, tepatnya di desa Cane.
Beberapa bulan kemudian Erlangga dan
Narottama menuju desa Terep di kaki gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada pandita wibawa penganut agama Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita Wibawa sebagai istri selir.
Ketika Medang i Bhumi Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga
daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin.
Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke Terep, menemui Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang, Erlangga menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung
Penanggungan, menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan, sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.

Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan
Colamandala dari India, Erlangga leluasa
melebarkan sayap kekuasaannya. Mpu
Narottama menyarankan supaya tidak tergesa menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara ngedab-edabi.
Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan, dan Hasin.
Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di barat daya gunung Wilis menerbitkan prasasti baru.
Isi prasasti itu adalah pemberian anugerah perdikan kepada Desa Baru
yang telah membantu Erlangga ketika
menggempur Hasin. Sekarang Desa Baru bernama Baruharjo, di kecamatan Durenan, Trenggalek, berbatasan langsung dengan kabupaten Tulungagung.
 
Sekarang prasasti Baru yang berbentuk
lempengan tembaga berada di Surabaya.
Sebelum menjadi bagian wilayah kabupaten Trenggalek, atau sebelum tahun 1050M, Desa Baru dan kecamatan Durenan masuk wilayah Tulungagung. Dapat dikatakan bahwa pada masa itu, tidak semua daerah di brang kidul melawan Erlangga, salah satunya daerah Baru. Dengan tercantumnya nama Baru pada prasasti, dapat pula dikatakan bahwa Tulungagung kembali menorehkan sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja. Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, Ratu Tulodong tidak tinggal diam, menderapkan pasukan perempuannya. Setelah menyeberang Brantas, pasukan besar Ratu Dyah Tulodong berderap ke utara membelah lembah tumur gunung Kawi, menuju lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menuju istana Erlangga di Watanmas. Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara, hingga kemudian bertahan di sebuah tempat bernama Patakan.

Peristiwa sejarah ini seolah tenggelam oleh kebesaran nama Erlangga. Kejayaan tokoh perempuan perkasa dari brang kidul pada sekitar tahun 1031M, tenggelam oleh keperkasaan kaum lelaki. Sementara sesungguhnya peristiwa itu termuat dalam Prasasti Terep:  maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan.
Meski dalam Prasasti Terep tidak menyebut nama perempuan perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga, dari penafsiran prasasti Terep dan Pucangan menyimpulkan bahwa sang
penakluk itu adalah Ratu Dyah Tulodong,
penguasa kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis bahwa ratu itu bertubuh serupa raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Banyak ahli sejarah terkecoh dengan berita itu. Ungkapan
itu adalah simbolisasi bahwa perempuan
penakluk dari daerah selatan itu memiliki
kekuatan luar biasa serupa raksasa atau
melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang tulisannya berbentuk kidung ini memang
bertujuan untuk memuji sosok Erlangga sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga. Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau istri Dewa Siwa.

Di selatan sungai Brantas atau di sekitar
Sumberjati, banyak ditemukan arca Dewi Durga dan arca Ganeca serta arca berwujud katak.
Arca-arca itu banyak dimiliki oleh para pemuja Dewi Durga. Kelak Ratu Tulodong menjadi sosok yang menyebabkan tidak sempurnanya tugas
Mpu Bharada ketika membelah kerajaan
Erlangga.

Tetapi Erlangga adalah titisan Wisnu yang tidak pernah berhenti berjuang menciptakan ketentraman tanah Jawa. Prasasti Pucangan menggambarkan Erlangga sebagai pemeluk agama Wisnu yang tawakal dan teguh. Bahwa selama tinggal di asrama, para pandita memberitakan jika Erlangga titisan Wisnu yang masih harus menyelesaikan tugasnya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya. Dewa Wisnu tidak pernah gagal menunaikan tugas. Erlangga percaya dan itu semakin
menambah keteguhan hati merebut kembali kerajaannya yang telah diduduki musuh. Maka Erlangga segera mengumpulkan kekuatan 
Berlanjut 



Sumber : 

https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10200934036534874&id=1284563882&set=a.1736852142835.2088436.1284563882&source=48&__user=100000077532358