Sabtu, 25 Juni 2011

Mengenal Aib Diri, Rahasia Ghaib dan Hijab,

,Mengenal Aib Diri, Rahasia Ghaib dan Hijab,,
"Keinginan dan hasrat memandang pada aib diri anda itu lebih baik daripada hasrat anda terhadap rahasia keghaiban yang ada dibalik tirai". (Ibnu Athaillah as-Sakandari)

Aib merupakan merupakan wujud dari kekurangan dari diri qta, baik kekurangan yg bersifat individual, kekurangan yg bersifat sosial maupun kekurangan yg bersifat vertical, yg berhubungan erat dengan pelanggaran kita pada aturan ilahi, lahir maupun batin, syari'at maupun hakikat.

AIB DIRI
Aib itulah yg senantiasa menempel pada tindakan praktek amaliah, akhlak atau dlm adab antara sesame hamba dan Allah. Karena itu Aib itu terbagi dua :
Pertama : aib yang bersifat lahriah / nyata
Kedua : aib yang bersifat batiniah / tersembunyi

Soal aib yang nyata bersifat fisik sangat mudah dihilangkan. Tetapi aib yang tersembunyi dalam hati kita itu sangat sulit melihatnya. Misalnya dalam gerak gerik hati kita, seperti I'timad pada amal atau bergantung pada amal, klaim terhadap apa yang dilakukan hamba sebagai perbuatan hamba dan soal tazkiyah jiwa.
Aib batin itulah yang mesti kita interospeksi agar kita selamat dalam hubungan kejiwaan dengan Allah swt. Karena itu nilainya lebih tinggi ketimbang hasrat kkita untuk membuka tirai kegaiban dibalik alam nyata ini.
Kata-kata Ibnu Atahillah as-Sakandari di atas menunjukkan bahwa manusia memang lebih senang memburu dunia ghaib, mencari rahasia alam Samawat, mencari keistimewaan-keistimewaan yang di luar jangkauan nalar akali. Pada saat yang sama ia juga lupa, bahwa dirinya sesungguhnya penuh dengan aib yang tidak tampak.
Oleh sebab itu beliau memperingatkan kita agar memprioritaskan interospeksi atas aib-aib batin kita, ketimbang mencari sesuatu yang cemerlang di balik keghaiban ini.
Banyak sekali aib yg tersembunyi dalam diri kita dan al-Ghazali secara gamblang mengklasifikasikan aib batin kita dalam sistematika Al-Akhlaqul Madzmumat (akhlak-akhlak batin yg tercela). Antara lain, riya', takabbur, iri, dengki, menuruti hawa nafsu, kealpaan hati kita mengingat Allah, ambisi duniawi, senang dipuja dan dipuji, takjub diri sendiri dan sebagainya.
Dalam konteks ini, Ibnu Athaillah mengingatkan betapa seringnya kita mencampuri urusan Allah dibalik ihtiar dan ibadah kita, dan itulah bentuk lain dari aib diri kita. Pada saat yang sama kita juga sering terjebak oleh ghururnya (tipuan) alam semesta, yaitu ketika kita memandang alam semesta ciptaan Allah swt, kita hanya terpesona keindahannya bukan melihat asma', af'al dan sifat Allah di sana. Sehingga hati kita kehilangan Cahaya Ilahi di balik fenomena alam semesta raya ini.

RAHASIA GHAIB
Soal keghaiban, juga terbagi dua :
Pertama : keghaiban bersifat empiric / inderawi
Kedua : keghaiban bersifat maknawi / spiritual.
Keghaiban bersifat fisik adalah kandungan ilmiah dan rahasia pengetahuan dibalik alam fisik raya ini. Sedangkan ghaib secara maknawi adalah pencarian terhadap rahasia spiritual yang tersembunyi dibalik olah batin kita.
Tetapi hawa nafsu kita memiliki kecenderungan memburu hal-hal ghaib dan melupakan kondisi obyektif aib-aib kita. Lalu mengapa introspeksi terhadap aib diri harus diprioritaskan ?
Menurut Syekh Zaruq, karena tiga alasan :
Pertama :
Sibuk mengurus aib kita akan mendorong kita meraih kesempurnaan jiwa, sementara meraih hal-hal ghaib malah menjerumuskan kita.
Kedua :
Instrospeksi aib diri sendiri merupakan kewajiban moral kita, sedangkan memburu rahasia keghaiban justru terkadang bisa menyesatkan kita.
Ketiga :
Introspeksi terhadap aib diri sendiri merupakan pelaksanaan hak Ketuhanan pada kehambaan kita, sedangkan memburu keghaiban justru mengabaikanhak ubudiyah dan kehambaan kita.

Keterangan para sufi menegaskan :
"Jadikan dirimu pencari istiqomah dan janganlah dirimu menjadi pencari karomah. Sebab nafsumu akan melipat dirimu ketika mencari karomah, padahal Tuhanmu menuntut istiqomahmu. Hendaknya dirimu memprioritaskan hak Ilahiyah ketimbang hak nafsu diri anda".

HIJAB
Mengapa aib ini harus diprioritaskan ? Sebab aib diri kita justru menjadi hijab utama yang menghalangi kita ketika diri hendak memandang Allah.
"Diri" itulah sesungguhnya menjadi factor penghalang (hijab) antara Allah dan hamba. Padahal Allah itu hakikatnya tidak bisa dihijabi, dihalangi, ditutupi atau di tirai oleh apapun atau siapapun. Dan karenanya Ibnu Athaillah melanjutkan hikmahnya :
"Allah itu tidak terhijab, yang terhijab adalah "anda" untuk memandang kepadaNya".
Allah itu tidak bisa terhijabi, karena jika ada penghijab yang menutupi Allah, pasti penghijab itu lebih besar dan lebih luas dibanding Allah. Padahal Allah itu Maha Besar.
Sedangkan diri kita justru menjadi hijab, itu jelas sekali, karena diri kita hakikatnya adalah aib-aib yang menggumpal.

Hijab itu terbagi dua :
1 : Hijab mata kepala
2 : Hijab Mata hati.
Hijab mata kepala, sudah jelas, yaitu kelemahan-kelemahan asli kita dan kefanaan kita.
Sedangkan hijab hati, kita seperti dalam kitab Lathaiful Minan, adalah wujud aib kita sendiri. Menyucikan kotoran aib itu bisa membuka mata keghaiban kita sendiri. Menyucikan kotoran aib itu bisa membuka mata keghaiban kita.
Karena itu anda jangan masuk dalam kategori orang yang menuntut Allah demi diri anda, tetapi jadilah orang yang menuntut diri sendiri demi Allah Ta'ala.
Orang yang menuntut Allah untuk dirinya, ia akan berhenti dan mandeg sebagai orang beriman yang meraih kesempurnaan. Ia justru akan menikmati "kemandegan" itu, dan akhirnya tidak meraih kesempurnaan.
Lalu dilanjutkan :
"Jika Allah dihijabi oleh sesuatu itu menutupi Allah. Kalau Allah punya pembatas tutup, pasti Allah itu terbatas. Sedangkan setiap pembatas itu pasti punya sifat pemaksa pada yang dibatasi. Padahal Allah Maha Pemaksa atas segala sesuatu."
Allah Maha Besar, Maha Agung, Maha Luas, Maha Tinggi, Maha Memaksa, Maha Tak Terhingga, dan tak satupun yang menyamai apalagi melampauinya. Jika terbatas pasti bukan Allah.
Allah Maha Jelas, Maha Nyata dan Maha Dekat, Maha Dzahir dan Maha Batin..

(Dikutip: Majalah Sufi, edisi 24 thun 2003 h. 34-37)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar